Itu adalah bunyi pesan singkat dari salah satu sahabatku beberapa tahun yang lalu. Pesan yang sampai sekarang tidak mampu aku balas, karna bagiku itu terlalu menyakitkan.
Dulu aku hanya diam, membiarkan pesan itu terbaca tanpa balasan.
Sekarang, setelah membaca kisah Ibu Sri Ningsih di novel Tentang Kamu, aku jadi seperti Zaman Zulkarnaen yang lantas berpikir, bagaimana jika kalimat itu ditujukan untuk Ibu Sri Ningsih? Kira-kira bagaimana beliau meresponnya?
Ahhh, wanita sebaik itu, mungkin dia juga hanya bisa diam, tapi diamnya pasti bukan diam yang menahan rasa sakit. Diamnya pasti diam yang ikhlas, diam yang memeluk rasa sakit. Karna rasa cinta pada sahabat telah melebihi rasa sesakit apapun yang pernah dirasakannya.
Tapi aku bukan Sri Ningsih, aku Sri Rejeki, yang masih tertatih berjalan menuju titik di mana aku bisa menerima dengan ikhlas setiap kejadian menyakitkan. Iya, menyakitkan ketika seseorang yang kamu anggap sahabat, ternyata menghakimimu dengan begitu mudah. Menyimpulkan bahwa "harta" adalah alasan kenapa sampai sekarang kamu belum menikah, bahkan tanpa rasa ingin mendengarkan kejadian-kejadian yang telah kamu lewati.
Ahhh, untuk apa juga dia mendengarkan jika apa yang dia lihat menurutnya sudah cukup untuk bisa membuat kesimpulan. Dia mungkin tak memerlukan kerangka pemikiran, hipotesis, apalagi analisis.
Sorry for never respond your message. It's not because I hate you, but I love you, and I'm afraid that my words will become swords.
Untuk setiap orang yang kebetulan membaca postingan ini, mengertilah, "Jangan telat menikah, Jangan telat punya anak, itu berbeda dengan Jangan telat makan" ☺